Senin, 14 Maret 2011

Stress dan Penyesuaian Diri

Definisi Stres
Menurut Hobfoll (dalam Santrock, 2003 : 557) pada awalnya, stres diambil begitu saja dari ilmu fisika. Pada saat itu manusia diperkirakan kurang lebih serupa dalam satu dan lain hal dengan obyek fisika, misalnya logam, yang mampu menahan kekuatan dari luar namun pada satu titik akan kehilangan kekuatannya bila dihadapkan pada satu tekanan yang besar.
Stres (stress) adalah respon individu terhadap keadaan atau kejadian yang memicu stres (stresor), yang mengancam dan mengganggu kemampuan seseorang untuk menanganinya (coping). Sedangkan menurut Hans Selye (dalam Santrock, 2003 : 557) stres sebenarnya adalah kerusakan yang dialami tubuh akibat berbagai tuntutan yang ditempatkan padanya.
Respon Tubuh terhadap Stres
Sindrom Adaptasi Umum (General Adaption Syndromel /GAS) adalah konsep yang dikemukakan oleh Selye yang menggambarkan efek umum pada tubuh ketika ada tuntutan yang ditempatkan pada tubuh tersebut. GAS terdiri dari tiga tahap, yaitu (Selye dalam Santrock, 2003 : 560) :
1. Peningkatan alarm, individu memasuki kondisi shock yang bersifat sementara, suatu masa dimana pertahanan terhadap stres ada di bawah normal. Individu mengenali keberadaan stres dan mencoba menghilangkannya. Otot menjadi lemah, suhu tubuh menurun, dan tekanan darah juga turun. Kemudian terjadi yang disebut dengan countershock, dimana pertahanan terhadap stres mulai muncul ; korteks adrenal mulai membesar, dan pengeluaran hormon meningkat. Tahap alarm berlangsung singkat.
2. Perlawanan (resistance), dimana pertahanan terhadap stres menjadi semakin intensif, dan semua upaya dilakukan untuk melawan stres. Pada tahap pertahanan, tubuh individu dipenuhi oleh hormon stres ; tekanan darah, detak jantung, suhu tubuh, dan pernafasan semua meningkat. Bila semua upaya yang dilakukan untuk melawan stres ternyata gagal dan stres tetap ada, maka akan masuk ke tahap selanjutnya.
3. Kelelahan (exhausted), dimana kerusakan pada tubuh semakin meningkat, orang yang bersangkutan mungkin akan jatuh pingsan di tahap kelelahan ini, dan kerentanan terhadap penyakitpun meningkat.
Menurut Selye tidak semua stres itu buruk, yang kemudian dia sebut dengan Lustress yaitu konsep Selye yang menggambarkan sisi positif dari stres. Berkompetisi di suatu kejuaraan, menulis karangan, atau mengejar seseorang yang menarik membuat tubuh menghabiskan energi.
Salah satu kritik utama terhadap pandangan Selye adalah manusia tidak selalu bereaksi terhadap stres dengan cara yang sama seperti yang ia kemukakan. Masih banyak lagi yang harus dipahami mengenai stres pada manusia daripada sekedar mengetahui reaksi fisik manusia terhadap stres. Perlu juga mengetahui kepribadian mereka, susunan fisik, persepsi, dan konteks dimana stresor atau penyebab stres muncul (Hobfoll (1989) dalam Santrock, 2003 : 560)
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi/Menyebabkan Stres
1. Faktor-Faktor Lingkungan
a. Beban yang terlalu berat, konflik dan frustasi
Istilah yang sering digunakan untuk beban yang terlalu berat di masa kini adalah burnout, perasaan tidak berdaya, tidak memiliki harapan, yang disebabkan oleh stres akibat pekerjaan yang sangat berat. Burnout membuat penderitanya merasa sangat kelelahan secara fisik dan emosional (Pines & Aronson (1988) dalam Santrock, 2003 : 560)
Berbagai stimulus bukan hanya dapat menjadi beban yang terlalu berat, namun juga bisa menjadi sumber konflik. Konflik terjadi ketika seseorang harus mengambil keputusan dari dua atau lebih stimulus yang tidak cocok. Tiga tipe konflik utama adalah :
1) Mendekat/mendekat (approach/approach conflict), terjadi bila individu harus memilih antara dua stimulus atau keadaan yang sama menarik. Konflik mendekat / mendekat adalah konflik yang tingkat stresnya paling rendah dibandingkan dua tipe konflik lainnya karena dua pilihannya memberikan hasil yang positif.
2) Menghindar/menghindar (avoidance/avoidance conflict), terjadi ketika individu harus memilih antara dua stimulus yang sama-sama tidak menarik, yang sebenarnya ingin dihindari keduanya, namun mereka harus memilih salah satunya. Pada banyak kasus, individu memilih untuk menunda mengambil keputusan dalam konflik menghindar/menghindar samap saat-saat terakhir.
3) Mendekat/menghindar (approach/avoidance conflict), terjadi bila hanya ada satu stimulus atau keadaan namun memiliki karakteristik yang positif dan juga negatif. Bila dihadapkan dalam konflik seperti ini (timbul dilema), biasanya individu merasa bimbang sebelum mengambil keputusan. Ketika waktunya untuk mengambil keputusan semakin dekat, kecenderungan untuk menghindar biasanya semakin mendominasi (Miller (1959) dalam Santrock, 2003 : 561).
Frustasi adalah situasi apapun dimana individu tidak dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Kegagalan dan kehilangan adalah dua hal yang terutama membuat frustasi.
b. Kejadian besar dalam hidup dan gangguan sehari-hari
2. Faktor-Faktor Kepribadian – Pola Tingkah Laku Tipe A (type A Behavior Pattern)
Adalah sekelompok karakteristik – rasa kompetitif yang berlebihan, kemauan keras, tidak sabar, mudah marah , dan sikap bermusuhan – yang dianggap berhubungan dengan masalah jantung. Penelitian mengenai pola tingkah laku tipe A pada anak-anak dan remaja menemukan bahwa anak-anak dan remaja dengan pola tingkah laku tipe A cenderung menderita lebih banyak penyakit, gejala gangguan jantung, ketegangan otot, dan gangguan tidur, dan bahwa anak-anak dan remaj dengan tipe A biasanya memiliki orang tua yang juga memiliki pola tingkah laku A (Santrock, 2003 : 570).
3. Faktor-Faktor Kognitif
Sesuatu yang menimbulkan stres tergantung pada bagaimana individu menilai dan menginterpretasikan suatu kejadian secara kognitif. Pandangan ini telah dikemukan oleh peneliti bernama Richard Lazarus (1966, 1990, 1993).
Penilaian kognitif (cognitive appraisal) adalah istilah yang digunakan Lazarus untuk menggambarkan interpretasi individu terhadap kejadian-kejadian dalam hidup mereka sebagai sesuatu yang berbahaya, mengancam, atau menantang dan keyakinan mereka apakah mereka memiliki kemampuan untuk menghadapi suatu kejadian dengan efektif (dalam Santrock, 2003 : 563).
Menurut pandangan Lazarus, berbagai kejadian dinilai dua langkah :
a. Penilaian primer (primary appraisal), mengartikan apakah suatu kejadian mengandung bahaya atau menyebabkan kehilangan, menimbulkan suatu ancaman akan bahaya di masa yang akan datang atau tantangan yang harus dihadapi.
1) Bahaya (harm), penilaian terhadap kerusakan yang sudah diakibatkan oleh suatu kejadian.
2) Ancaman (threat), penilaian terhadap kerusakan yang berpotensi terjadi di masa yang akan datang akibat suatu kejadian.
3) Tantangan (challenge), penilaian terhadap potensi untuk mengatasi situasi yang tidak menyenangkan akibat suatu kejadian dan mengambil keuntungan secara maksimal dari kejadian tersebut.
b. Penilaian sekunder (secondary appraisal), mengevaluasi potensi atau kemampuan dan menentukan seberapa efektif potensi atau kemampuan yang dapat digunakan untuk menghadapi suatu kejadian.
Lazarus percaya bahwa pengalaman stres adalah keseimbangan antara penilaian primer dan sekunder. Ketika bahaya dan ancaman tinggi, sementara tantangan dan sumber daya yang dimiliki rendah, stres cenderung akan menjadi berat; bila bahaya dan ancaman rendah, dan tantangan serta sumber daya yang dimiliki tinggi, maka stres akan cenderung menjadi ringan atau sedang (dalam Santrock, 2003 : 563).
4. Faktor-Faktor Sosial Budaya
a. Stres akulturatif
Akulturasi (acculturation) mengacu pada perubahan kebudayaan yang merupakan akibat dari kontak langsung yang sifatnya terus menerus antara dua kelompok kebudayaan yang berbeda. Sedangkan stres akulturatif (acculturative) adalah konsekuensi negatif dari akulturasi.
b. Status sosial ekonomi
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketahanan (resilience) terhadap Stres
Menurut Norman Garmezy (dalam Santrock, 2003 : 565) :
1. ketrampilan kognitif (perhatian, pemikiran reflektif) dan respon positif terhadap orang lain
2. keluarga, ditandai dengan adanya kehangatan, keterikatan satu sama lain, dan ada orang dewasa yang memperhatikan
3. ketersediaan sumber dukungan eksternal, seperti ketika kebutuhan yang kuat akan tokoh ibu dapat dipenuhi oleh tokoh guru, tetangga, orang tua teman, atau struktur institusional.

Cara Penanganan Stres
1. Menghilangkan stres mekanisme pertahanan, dan penanganan yang berfokus pada masalah. Menurut Lazarus (dalam Santrock, 2003 : 566) penanganan stres atau coping terdiri dari dua bentuk, yaitu :
a. Coping yang berfokus pada masalah (problem-focused coping) adalah istilah Lazarus untuk strategi kognitif untuk penanganan stres atau coping yang digunakan oleh individu yang menghadapi masalahnya dan berusaha menyelesaikannya.
b. Coping yang berfokus pada emosi (problem-focused coping)adalah istilah Lazarus untuk strategi penanganan stres dimana individu memberikan respon terhadap situasi stres dengan cara emosional, terutama dengan menggunakan penilaian defensif.
Strategi penanganan stres dengan mendekat dan menghindar (Santrock, 2003 : 567) :
a. Strategi mendekati (approach strategies) meliputi usaha kognitif untuk memahami penyebab stres dan usaha untuk menghadapi penyebab stres tersebut dengan cara menghadapi penyebab stres tersebut atau konsekuensi yang ditimbulkannya secara langsung
b. Strategi menghindar (avoidance strategies) meliputi usaha kognitif untuk menyangkal atau meminimalisasikan penyebab stres dan usaha yang muncul dalam tingkah laku, untuk menarik diri atau menghindar dari penyebab stres
Menurut Ebata & Moos, 1994 (dalam Santrock, 2003 : 567) individu yang menggunakan strategi mendekat untuk menghadapi stres adalah remaja yang berusia lebih tua, lebih aktif, menilai stresor utama yang muncul sebagai sesuatu yang dapat dikendalikan dan sebagai suatu tantangan, dan memiliki sumber daya sosial yang dapat digunakan. Sedangkan, individu yang menggunakan strategi menghindar mudah merasa tertekan dan mengalami stres, memiliki stresor yang lebih kronis, dan telah mengalami kejadian-kejadian yang lebih negatif dalam kehidupannya selama tahun sebelumnya.

Berpikir positif dan self-efficacy
Menurut Bandura (dalam Santrock, 2003 : 567) self-efficacy adalah sikap optimis yang memberikan perasaan dapat mengendalikan lingkungannya sendiri.
Menurut model realitas kenyataan dan khayalan diri yang dikemukan oleh Baumeister, individu dengan penyesuaian diri yang terbaik seringkali memiliki khayalan tentang diri mereka sendiri yang sedikit di atas rata-rata. Memiliki pendapat yang terlalu dibesar-besarkan mengenai diri sendiri atau berpikir terlalu negatif mengenai diri sendiri dapat mengakibatkan konsekuensi yang negatif. Bagi beberapa orang, melihat segala sesuatu dengan terlalu cermat dapat mengakibatkan merasa tertekan. Secara keseluruhan, dalam kebanyakan situasi, orientasi yang berdasar pada kenyataan atau khayalan yang sedikit di atas rata-rata dapat menjadi yang paling efektif (dalam Santrock, 2003 : 568).

Sistem dukungan
Menurut East, Gottlieb, O’Brien, Seiffge-Krenke, Youniss & Smollar (dalam Santrock, 2003 : 568), keterikatan yang dekat dan positif dengan orang lain – terutama dengan keluarga dan teman – secara konsisten ditemukan sebagai pertahanan yang baik terhadap stres.

Berbagai strategi penanganan stres
Dalam penanganan stres dapat menggunakan berbagai strategi coping, karena stres juga disebabkan tidak hanya oleh satu faktor, melainkan oleh berbagai faktor (Susman, 1991 dalam Santrock, 2003 : 569).






Penyesuain Diri
Penyesuaian diri dalam bahasa aslinya dikenal dengan istilah adjustment atau personal adjustment. Schneiders berpendapat bahwa penyesuaian diri dapat ditinjau dari tiga sudut pandang, yaitu: penyesuaian diri sebagai adaptasi (adaptation), penyesuaian diri sebagai bentuk konformitas (conformity), dan penyesuaian diri sebagai usaha penguasaan (mastery)
Pada mulanya penyesuaian diri diartikan sama dengan adaptasi (adaptation), padahal adaptasi ini pada umumnya lebih mengarah pada penyesuaian diri dalam arti fisik, fisiologis, atau biologis. Misalnya, seseorang yang pindah tempat dari daerah panas ke daerah dingin harus beradaptasi dengan iklim yang berlaku di daerah dingin tersebut.
Ada juga penyesuaian diri diartikan sama dengan penyesuaian yang mencakup konformitas terhadap suatu norma. Pemaknaan penyesuaian diri seperti ini pun terlalu banyak membawa akibat lain.
Dengan memaknai penyesuaian diri sebagai usaha konformitas, menyiratkan bahwa di sana individu seakan-akan mendapattekanan kuat untuk harus selalu mampu menghindarkan diri dari penyimpangan perilaku, baiksecara moral, sosial, maupun emosional.
Sudut pandang berikutnya adalah bahwa penyesuaian diri dimaknai sebagai usaha penguasaan (mastery), yaitu kemampuan untuk merencanakan dan mengorganisasikan respons dalam cara-cara tertentu sehingga konflik-konflik, kesulitan, dan frustrasi tidakterjadi.

Pertumbuhan personal
Pengertian pertumbuhan personal :
Manusia merupakan makhluk individu. Manusia itu disebut individu apabila pola tingkah lakunya bersifat spesifik dirinya dan bukan lagi mengikuti pola tingkah laku umum. Ini berarti bahwa individu adalah seorang manusia yang tidak hanya memiliki peranan-peranan yang khas didalam lingkungan sosialnya, melainkan juga mempunyai kepribadian serta pola tingkah laku spesifik dirinya. Kepribadian suatu individu tidak sertamerta langsung terbentuk, akan tetapi melalui pertumbuhan sedikit demi sedikit dan melalui proses yang panjang.
Setiap individu pasti akan mengalami pembentukan karakter atau kepribadian. Dan hal itu membutuhkan proses yang sangat panjang dan banyak faktor yang mempengaruhinya terutama lingkungan keluarga. Hal ini disebabkan karena keluarga adalah kerabat yang paling dekat dan kita lebih banyak meluangkan waktu dengan keluarga. Setiap keluarga pasti menerapkan suatu aturan atau norma yang mana norma-norma tersebut pasti akan mempengaruhi dalam pertumbuhan individu. Bukan hanya dalam lingkup keluarga, tapi dalam lingkup masyarakat pun terdapat norma-norma yang harus di patuhi dan hal itu juga mempengaruhi pertumbuhan individu.
Dengan adanya naluri yang dimiliki suatu individu, dimana ketika dapat melihat lingkungan di sekitarnya maka secara tidak langsung maka individu akan menilai hal-hal di sekitarnya apakah hal itu benar atau tidak, dan ketika suatu individu berada di dalam masyarakat yang memiliki suatu norma-norma yang berlaku maka ketika norma tersebut di jalankan akan memberikan suatu pengaruh dalam kepribadian, misalnya suatu individu ada di lingkungan masyarakat yang disiplin yang menerapkan aturan-aturan yang tegas maka lama-kelamaan pasti akan mempengaruhi dalam kepribadian sehingga menjadi kepribadian yang disiplin, begitupun dalam lingkungan keluarga, semisal suatu individu berada di lingkup keluarga yang religius maka individu tersebut akan terbawa menjadi pribadi yang religius.
Terjadinya perubahan pada seseorang secara tahap demi tahap karena pengaruh baik dari pengalamaan atau empire luar melalui panca indra yang menimbulkan pengalaman dalam mengenai keadaan batin sendiri yang menimblkan reflexions.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan individu, yaitu:
1. Faktor Biologis
Semua manusia normal dan sehat pasti memiliki anggota tubuh yang utuh seperti kepala, tangan , kaki dan lainya. Hal ini dapat menjelaskan bahwa beberapa persamaan dalam kepribadian dan perilaku. Namun ada warisan biologis yang bersifat khusus. Artinya, setiap individu tidak semua ada yang memiliki karakteristik fisik yang sama.
2. Faktor Geografis
Setiap lingkungan fisik yang baik akan membawa kebaikan pula pada penghuninya. Sehingga menyebabkan hubungan antar individu bisa berjalan dengan baik dan mencimbulkan kepribadian setiap individu yang baik juga. Namun jika lingkungan fisiknya kurang baik dan tidak adanya hubungan baik dengan individu yang lain, maka akan tercipta suatu keadaan yang tidak baik pula.
3. Faktor Kebudayaan Khusus
Perbedaan kebuadayaan dapat mempengaruhi kepribadian anggotanya. Namun, tidak berarti semua individu yang ada didalam masyarakat yang memiliki kebudayaan yang sama juga memiliki kepribadian yang sama juga.
Dari semua faktor-faktor di atas dan pengaruh dari lingkungan sekitar seperti keluarga dan masyarakat maka akan memberikan pertumbuhan bagi suatu individu. Seiring berjalannya waktu, maka terbentuklah individu yang sesuai dan dapat menyesuaikan dengan lingkungan sekitar.
McDougall menekankan pentingnya faktor personal dalam menentukan interaksi sosial dalam membentuk perilaku individu. Menurutnya, faktor-faktor personallah yang menentukan perilaku manusia.
Menurut Edward E. Sampson, terdapat perspektf yang berpusat pada persona dan perspektif yang berpusat pada situasi. Perspektif yang berpusat pada persona mempertanyakan faktor-faktor internal apakah, baik berupa instik, motif, kepribadian, sistem kognitif yang menjelaskan perilaku manusia. Secara garis besar terdapat dua faktor.

General Adaptation Syndrom (GAS)
a. Fase Alarm ( Waspada)
Melibatkan pengerahan mekanisme pertahanan dari tubuh dan pikiran untuk menghadapi stressor. Reaksi psikologis “fight or flight” dan reaksi fisiologis. Tanda fisik : curah jantung meningkat, peredaran darah cepat, darah di perifer dan gastrointestinal mengalir ke kepala dan ekstremitas. Banyak organ tubuh terpengaruh, gejala stress memengaruhi denyut nadi, ketegangan otot dan daya tahan tubuh menurun.
Fase alarm melibatkan pengerahan mekanisme pertahanan dari tubuh seperti pengaktifan hormon yang berakibat meningkatnya volume darah dan akhirnya menyiapkan individu untuk bereaksi. Hormon lainnya dilepas untuk meningkatkan kadar gula darah yang bertujuan untuk menyiapkan energi untuk keperluan adaptasi, teraktifasinya epineprin dan norepineprin mengakibatkan denyut jantung meningkat dan peningkatan aliran darah ke otot. Peningkatan ambilan O2 dan meningkatnya kewaspadaan mental.
Aktifitas hormonal yang luas ini menyiapkan individu untuk melakukan “ respons melawan atau menghindar “. Respon ini bisa berlangsung dari menit sampai jam. Bila stresor masih menetap maka individu akan masuk ke dalam fase resistensi.
b. Fase Resistance (Melawan)
Individu mencoba berbagai macam mekanisme penanggulangan psikologis dan pemecahan masalah serta mengatur strategi. Tubuh berusaha menyeimbangkan kondisi fisiologis sebelumnya kepada keadaan normal dan tubuh mencoba mengatasi faktor-faktor penyebab stress. Bila teratasi gejala stress menurun àtau normal tubuh kembali stabil, termasuk hormon, denyut jantung, tekanan darah, cardiac out put. Individu tersebut berupaya beradaptasi terhadap stressor, jika ini berhasil tubuh akan memperbaiki sel – sel yang rusak. Bila gagal maka individu tersebut akan jatuh pada tahapa terakhir dari GAS yaitu : Fase kehabisan tenaga.
c. Fase Exhaustion (Kelelahan)
Merupakan fase perpanjangan stress yang belum dapat tertanggulangi pada fase sebelumnya. Energi penyesuaian terkuras. Timbul gejala penyesuaian diri terhadap lingkungan seperti sakit kepala, gangguan mental, penyakit arteri koroner, dll. Bila usaha melawan tidak dapat lagi diusahakan, maka kelelahan dapat mengakibatkan kematian.


Daftar Pustaka :

Santrock, John W. Adolescence : Perkembangan Remaja Ed. 6. Jakarta : Erlangga, 2003.
Kartono, K. (2000). Hygiene mental. Bandung: Mandar Maju.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar